Kami juga melayani penjualan dan pembelian Logam Mulia dengan berat minimal 25 gr

26 Februari 2011

Sistematis RIBA membunuh kita

Terhentak al-wakil ketika membaca artikel di sini , ternyata profesi yang mulia ini sudah mulai banyak ditinggalkan, alasan permodalan dan hasil yang tak sesuai menjadi penyebabnya. Sehingga banyak dari mereka terjebak riba dan memimta anak keturunan untuk alih profesi menjadi buruh atau karyawan dimana akan mendapat gaji sebagai penunjang hidup, walau faktanya gajinya nanti tak kan dapat menyambung hidup.

Negeri kita negeri berkah, sumber daya manusia banyak, tanah subur, ternak sehat, dan cuaca yang mendukung sistem pertanian. Minyak, aspal, emas, kayu melimpah.
Ini semua adalah modal positif untuk kemakmuran dan wakalakesejahteraan. Tetapi mengapa masih ada berita masyarakat tewas kelaparan, kurang gizi dan memakan makanan yang seharusnya menjadi jatah ternak.

Bila kita tanyakan itu semua banyak jawaban bermunculan, tetapi jawaban utamanya adalah karena merebaknya RIBA yang tak terkendalikan. Uang rupiah yang kita pergunakan adalah salah satunya. Uang bagi masyarakat sudah seperti candu, walau ada pameo mengatakan uang bukan segalanya, tetapi segalanya perlu uang. Karena uang dipaksakan sebagai alat tukar barang dan jasa, maka seolah ekonomi tak bergerak bila tak ada uang dalam masyarakat tersebut. Era barter hanya bisa dilakukan komunitas kecil, walau dalam skala besar sebenarnya bisa saja dilakukan.

Fungsi kepemimpinan dimanapun juga seharusnya bertindak sebagai kelompok pengatur (regulator) hal-hal terkait dengan komunitas yang terlingkup dalam sistemnya, dan tanggung jawab terpenting dalam skala ekonomi adalah selaku penjamin dan penjagaan kebenaran takaran, ukuran, dan timbangan di pasar. Lalu penjamin dan penjaga alat tukar yang sah dan berlaku pada komunitasnya. Alat tukar tersebut harus tersedia (dalam hal ini uang FIAT) sesuai dengan jumlah produksi dan kemampuan daya beli komunitas tersebut terhadap barang dan jasa. Katakanlah kalau tiba-tiba uang tak ada, seorang peternak membayar biaya sekolah anaknya dengn 2 ekor ayam, karena toh bila ayam dijual akan jadi uang juga, jadi lebih baik langsung saja untuk bayar sekolah.

Karena itu lah munculnya fungsi yang kedua dari fungsi kepemimpinan (otoritas) tersebut. Karena uang tercipta disebabkan adanya produksi atau jasa dari masyarakat maka uang tersebut seharusnya milik warga tersebut sejak awal tercipta.
Kepemimpinan (mewakili komunitasnya) akan menghitung berapa uang yang diperlukan oleh komunitasnya, lalu mengedarkan dalam bentuk upah kepada para pegawai agar membelanjakan untuk sirkulasi sehingga uang berputar dikomunitasnya. Dan uang yang tioba dipasar diputar kembali dalam bentuk permodalan. Setiap tahun dihitung, apakah uang masih cukup relevan dengan kondisi terakhir dengan pertimbangan pertumbuhan produksi dan penduduk.

Jadi tanpa adanya hak penciptaan uang akan menyebabkan ekonomi stagnan, perdagangan yang tak dapat dijual dan jasa yang tak berkembang. Dalam rezim devisa, bukankah setiap negara sudah memiliki bank sentral? Bukankah hak penciptaan uang sudah dipegang oleh pemerintah.? Bank sentral (BI di sini) pada mulanya menciptakan uang. Tapi uang tersebut diberikan dalam bentuk hutang, karena dalam rezim devisa uang tercipta ketika hutang tercipta. Kembali ke kasus sang peternak tadi.
Bayangkan tanpa hutang, uang tak ada
Tanpa uang, tak ada perdagangan.
Dan ketika hutang itu lunas, kembali lagi masyarakat yang tanpa uang.
Karena uang tercipta kalau ada hutang.!

Diilustrasikan seorang pemilik lahan, pemilik toko benih , buruh tani dan pemilik kerbau sewaan. Mereka tak dapat melakukan apa-apa terhadap lahan tersebut karena tidak ada uang, pemilik lahan tak dapat membeli benih, mengupah buruh dan membajak sawah karena tak ada uang. Mereka membutuhkan uang, karena itulah hutang tercipta.
Ketika tingkat produksi dan jumlah uang beredar setara, maka pergerakan ekonomi berjalan lembut dan mulus. Ketika jumlah uang lebih banyak dari jumlah barang, maka itulah yang dinamakan inflasi, maka sebenarnya uang tersebut sudah tak berharga lagi.
Rezim saat ini sudah cukup bodoh dalam penciptaan uang yang berasal dari hutang dari masyarakat. Tetapi lebih bodoh lagi ketika menambah hutang dari mata uang negara lain. Surat hutang negara dalam mata uang rupiah, tagihannya disampaikan ke masayarakat dalam bentuk pajak. Tetapi surat hutang mata uang asing ibarat menyiram bensin ke tubuh dan tinggal menunggu pemantik api dinyalakan.

Apa negara lain begitu iklas meminjamkan uangnya kepada negara lain tanpa meminta untung (bunga)?. Itupun masih dipermainkan oleh jual beli mata uang tersebut.
Contoh saat ini, US$ 1 = Rp.9.000,-, kita meminjam US$ 1juta, untuk membangun bendungan, yang sebenarnya bisa dibiayai dengan uang sendiri (tentunya dengan mencetak). Dan rencana pembayaran dari hasil pengairan bendungan tersebut dalam bentuk beras akan kita jual. Bila 1 kg beras = 1 US$, maka hanya dibutuhkan 1juta kg beras untuk pembayaran. Lalu tiba2 mata uang rupiah melemah jatuh ke harga US$1 = Rp16.000,-, dan harga beras jatuh ke 1kg = 0.5 US$, maka beras yang harus kita jual adalah 2 juta kg. DItambah bunga berarti lebih dari 2 juta kg beras harus diproduksi, dijual dalam rupiah dan dibelikan dolar.

Jadi ketika ada pertanyaan , kita punya freeport, punya dumai, punya sawah membentang, tetapi tetap miskin.

Hutang adalah hutang.
Semua harus dibayar.
Dolar dengan dolar, yen dengan yen, dan bukan dengan rupiah,
Reformasi tidaklah membawa kemajuan bagi bangsa ini, penggantian rezim hanya mengganti kepala sementara badan meneruskan sistem lama.

22 Februari 2011

Penyimpangan Praktek Mudharabah Bank Syariah

Setali tiga uang dengan produk murabahahnya bank syari'ah yang mengandung transaksi terlarang, produk mudharabahnya juga mengalami hal yang sama.

Pada artikel sebelumnya, Amir Zaim Saidi pernah membahas tentang pengertian dan tata cara mudharabah/qirad dengan merujuk kepada kitab Al Muwatha karya Imam Malik, sebagai berikut:
  • Qirad adalah kontrak kerjasama pembiayaan dagang antara dua pihak: yang satu adalah pemilik modal dan yang lain adalah pemilik tenaga yang akan bertindak sebagai Agen bagi pihak pertama.

  • Pihak kedua menerima modal dari pihak pertama sebagai pinjaman dan akan membagikan keuntungan yang diperoleh dari usaha dagang yang menggunakan modal dari pihak pertama tersebut.

Kondisi-kondisi kontrak qirad adalah sbb:

  1. Kontrak diawali dan diakhiri dalam bentuk tunai (Dinar Emas atau Dirham Perak), tidak dalam bentuk komoditas.

  2. Keuntungan dari usaha, bila diperoleh, dibagi berdasarkan proporsi yang disepakati sejak awal dan dituangkan dalam kontrak, misalnya 50:50 atau 45:55

  3. Kerugian dagang, bila terjadi, sepenuhnya (100%) ditanggung oleh pemilik modal. Tetapi kerugian yang ditimbulkan karena Agen/pelaku usaha menyimpang dari perjanjian, atau nilainya melebihi jumlah uang yang diperjanjikan, menjadi tanggungan pihak Agen.

  4. Kontrak tidak mensyaratkan suatu garansi apa pun dari pihak Agen kepada pemilik modal akan sukses atau tidaknya usaha bersangkutan.

  5. Kontrak tidak boleh mensyaratkan jaminan dari Agen atas aset-aset berharganya kepada pemilik modal.

  6. Tidak ada pembatasan kontrak atas dasar waktu tertentu, melainkan berdasarkan suatu siklus usaha.

  7. Keuntungan usaha tidak boleh digunakan oleh pihak Agen sampai semua milik pemodal telah dibayarkan.

Sekarang mari kita telaah hukum qirad tersebut di atas dengan praktek mudharabah perbankan syariah.

A. Kejelasan Status Kepemilikan Modal dan Status Agen/Mudharib

Dalam poin ini jelas dinyatakan bahwa status modal adalah mutlak milik pemilik modal/shohibul mal dan status agen adalah orang yang mengelola modal/uang milik pemodal untuk usaha perdagangan . Namun hal ini tidak berlaku pada sistem perbankan syariah. Bank syari'ah memiliki status ganda, yaitu sebagai pemodal dan juga sebagai agen dalam satu waktu.

Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika pada pagi hari, bank berhubungan dengan nasabah (kreditur) pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, dimana pada siang harinya bank berperan sebagai pemodal, yaitu jika bank berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan modal usaha. Status ganda yang diperankan oleh bank ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan selama ini adalah akad hutang piutang dan bukan akad mudharabah.

Jika bank berkilah bahwa dana titipan nasabah berbentuk wadhiah yad dhamanah (barang titipan yang bisa dipergunakan), dimana bank memiliki hak untuk menggunakannya, hal itu hanyalah akal-akalan hukum saja (pemelintiran istilah dayn/qard menjadi wadi'ah) agar bank memiliki legalitas mengelola titipan uang nasabah dan selanjutnya dapat menjalankan skenario mudharabah sebagai pemilik modal. Perlu diketahui, bahwa hukum asal barang titipan adalah mubah dengan ketentuan si penerima titipan wajib menjaga amanah barang yang dititipinya dan tidak boleh menggunakan barang titipan tersebut baik seizin maupun tanpa izin pemilik barang. Apabila ketentuan ini dilanggar, maka si penerima titipan telah berkhianat karena tidak dapat menjalankan amanah.

Celakanya, dana nasabah yang berupa titipan/wadi'ah itu digunakan oleh bank untuk disalurkan kepada pihak ketiga, yaitu para pengusaha yang memerlukan modal usaha melalui skema mudharabah/bagi hasil, dimana bank bertindak sebagai pemilik modal/shohibul maal sedangkan pengusaha sebagai agen/mudharib. Kerancuan hukum mulai tampak pada skema mudharabah ini. Dana nasabah (wadi'ah) yang seharusnya dijaga dan tidak boleh dipergunakan, namun bank mempergunakannya untuk kepentingan bisnis demi mencari keuntungan dengan menyalurkan kembali kepada pihak ketiga. Dengan demikian, dalam pandangan Hukum Islam akad mudharabah versi bank syari'ah ini tidak dibenarkan dan berubah akadnya menjadi akad qard/dayn (peminjaman/piutang) karena bank memiliki hak kepemilikan utuh atas dana nasabah yang dititipkannya dan selanjutnya dana tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan kontrak bisnis yang mendatangkan keuntungan. Dalam kaidah fiqih disebutkan bahwa setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/ keuntungan, maka itu adalah riba.

Status berikutnya, yaitu bank bertindak sebagai mudharib (agen) juga tidak bisa diterima. Alasannya adalah ketika pemilik modal (nasabah) membuat kontrak mudharabah kepada pihak bank dengan cara menunjuk pihak bank sebagai pihak kedua (mudharib) yang akan mengelola dana nasabah dalam pembiayaan suatu usaha, ternyata bank melanggar kontrak tersebut. Hal ini terjadi karena bank tidak memilik usaha sektor riil yang akan mendatangkan keuntungan usaha, melainkan hanya produk perbankan yang semuanya sebatas pembiayaan dan pendanaan. Peran perbankan hanya penyalur dana nasabah dan tidak berperan sebagai pelaku usaha (mudharib) karena takut menanggung resiko usaha serta ingin mendapatkan keuntungan saja. Dikarenakan bank tidak memiliki usaha riil, maka lagi-lagi bank menyalurkan dana nasabah kepada pihak ketiga yang memerlukan modal usaha sebagaimana skema mudaharabah dengan menggunakan dana titipan nasabah (wadi'ah).


M. Arifin bin Badri, MA., dalam bukunya Riba & Tinjauan Kritis Perbankan Syariah, (Pustaka Darul Ilmi, 2009), hal. 164, mengutip perkataan Imam An-Nawawi sebagai berikut:

"Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ketiga dengan akad mudharabah. Jika ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah pertama dan berubah statusnya menjadi perwakilan/mediator bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan bagi dirinya sedikitpun dari keuntungan yg diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua tidak syah/batal".

Dengan demikian maka jelaslah bahwa status bank syari'ah dalam kontrak mudharabah sesungguhnya hanyalah perantara alias CALO dan bukan sebagai pemilik modal/shohibul maal ataupun pengusaha/mudharib. Jika bank mengklaim sebagai pemilik modal, maka ia mendustakan kenyataan yang sebenarnya yaitu sebagian besar dana yg dikelola adalah milik nasabah. Jika ia mengklaim sebagai pengusaha maka kenyataanya bank tidak memiliki usaha sektor riil dan menyalurkan kembali modal nasabah kepada pengusaha lain. Inilah tipu muslihat mudharabah a la bank islam yang jarang diketahui umat muslimin demi melegalkan serta melestarikan kapitalisme berbasis riba.

B. Bank Tidak Mau Menanggung Resiko Kerugian

Kondisi dalam kontrak mudharabah menyebutkan bahwa kerugian usaha ditanggung 100% oleh pemilik modal jika agen tidak melakukan kelalaian yang mengakibatkan terjadinya kerugian dan juga kondisi kontrak yang tidak membenarkan penyertaan jaminan asset/modal agen baik sebagian maupun keseluruhannya. (lihat penjelasan kondisi-kondisi mudharabah #3 dan #5 sebelumnya).

Namun kondisi-kondisi tersebut tidak berlaku dalam praktek mudharabah bank syari'ah. Bank tidak mau menanggung kerugian jika usaha mengalami kegagalan/kerugian. Jika terjadi kerugian usaha, niscaya bank akan meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Misalnya seorang pengusaha A yang mendapatkan kucuran modal dari bank syariah B untuk pembiayaan usaha penggilingan gabah dengan perjanjian bagi hasil 50% - 50%. Namun di tengah jalannya usaha, musibah terjadi pada A hingga mengalami kerugian usaha. Gudangnya terbakar, atau dirampok atau kejadian force majeur lainnya, sehingga modal yang tersisa di tangan A tinggal 30%. Dalam situasi seperti ini Bank Syari'ah B akan tetap meminta A agar mengembalikan modalnya secara utuh 100%. Kasus semacam ini tentu saja bertentangan dengan syarat dan kondisi mudharabah, dimana kerugian ditanggung 100% oleh pemilik modal, yaitu Bank B, karena kerugian terjadi bukan disebabkan oleh kelalaian A yang melanggar kontrak perjanjian tetapi oleh hal-hal di luar itu.

Untuk menghilangkan resiko kerugian sedini mungkin, sebelum kontrak perjanjian disepakati, bank meminta jaminan asset/modal dari nasabah pelaku usaha yang selanjutnya akan dijadikan sebagai instrument pembayaran modal pinjaman jika terjadi kerugian atau kegagalan usaha. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi HUTANG PIUTANG yang berbunga alias RIBA.

Para ulama dari berbagai madzhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syari'ah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh jika terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang bathil/tidak benar. (lihat Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni).

Sangat jelas bagi kita bagaimana perbankan syariah menampakkan wajah aslinya dalam pelaksanaan praktek mudharabah, yaitu sama persis dengan apa yang dilakukan oleh saudara kembar siamnya, Bank Konvensional !!! Saya menukil statemen Prof Ahamed Kameel Mydin Meera, penulis buku Perampokan Bangsa-Bangsa (Mizan, 2010) berikut ini: " perbankan syariah dan perbankan konvensional itu bukan cuma bersaudara kembar, tetapi adalah kembar siam!" Dan ternyata statement tersebut terbukti dalam praktek mudharabah bank syari'ah yang meyimpang dari praktek muamalah syar'iah, dimana bank tidak mau menanggung kerugian usaha dan meminta jaminan asset nasabah pelaku usaha. Praktek ini sama persis dengan apa yang dilakukan oleh saudara kembar siamnya - bank konvensional, hanya berbeda dalam istilah, yang satu bernama mudharabah sementara kembarannya bernama kredit usaha berbunga.

Jika demikian kondisinya, lantas DIMANA LETAK SYAR'INYA Bank Syari'ah? Bahkan ada bank syari'ah yang berani beriklan tanpa takut akan akibatnya (azab dari Allah subhanahu wa ta'ala karena telah merubah-ubah hukum-Nya) dengan mengusung jargon palsu "Pertama Murni Syariah"!!

Sebagai penutup saya menukil kisah yang dituturkan M. Arifin bin Badri dalam buku yang sama sebagai berikut:

Majalah MODAL edisi 36, tahun 2006, hal. 26 � 27 memuat kisah pemain 'Golf Syari'ah' berikut ini: "Ada sebagian pemain golf yg biasanya berjudi ketika bermain golf, telah menamakan kebiasaan judinya dengan 'golf syari'ah'. Cara yg mereka lakukan ialah dengan mengumpulkan uang judinya dengan sebutan Tabarru', bila dana yg telah terkumpul habis, kembali mereka mengumpulkan lagi dengan sebutan Shadaqoh. Dan bila telah habis, mereka mengumpulkan uang lagi dengan sebutan Infaq, dan demikian seterusnya. Pada akhir permainan, mereka mengecek siapa dari mereka yang paling banyak kalah (paling apes). Jika ada dari mereka yang kehabisan uang atau menderita banyak kekalahan , maka pemenang diwajibkan mengeluarkan zakat 2,5% kepada yang bersangkutan. Perilaku para pemain 'golf syari'ah' tersebut adalah haram, bahkan dosanya lebih besar dari pada pegolf judi lainnya. Karena selain menanggung dosa judi, mereka juga menanggung dosa mempermainkan istilah-istilah syari'at yg tidak pada tempatya. (kisah ini persis apa yang dimaksud perkataan Amir Zaim Saidi, yaitu dosa bank syari'ah 300% bahkan lebih besar dari itu daripada dosa bank konvensional 100%. Karena selain dosa akan akad/transaksi yang mengandung riba, ditambah dosa bank syari'ah yang telah mempermainkan istilah-istilah muamalat yang tidak pada tempatnya serta penyimpangan hukum mu'amalah syar'i dalam prakteknya).

Perbuatan mereka itu tak ubahnya seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi tatkala diharamkan atas mereka untuk memakan lemak. Mereka mengakali pengharaman itu dengan cara mecairkan lemak tersebut, lalu menjualnya dan kemudian hasil penjualan lemak itulah yg mereka makan. Menanggapi perilaku keji kaum Yahudi ini, rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk memakan lemak binatang, merekapun mencairkannya, kemudian menjualnya, dan akhirnya mereka memakan hasil penjualan itu". (HR. Bukhari dan Muslim).

Hasbunallahu wa ni'mal wakil... Masyaallah La Quwwata illa Billahi...

Rahmat Affandi - Pegawai Pusdiklat Kementerian Agama, al-Wakil Wakala Radya

11 Februari 2011

Tidak Syarinya Gadai Syariah

Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara

Yang disebut sebagai gadai syariah tak lain adalah upaya menyembunyikan utang berbunga yang haram hukumnya

Gadai, atau rahn, adalah salah satu transaksi yang halal dalam muamalat. Secara bahasa kata rahn berarti tetap dan langgeng. Secara syariah gadai adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas kewajiban suatu hutang untuk dipakai sebagai alat bayar jika terpaksa, bila pada saat jatuh tempo pihak pengutang gagal melunasinya. Transaksi gadai, seperti halnya jual-beli, sah bila diawali dengan proses ijab dan kabul. Secara detil ada berbagai ketentuan berkaitan dengan gadai ini yang menyangkut tata cara pengelolaan serta hak dan kewajiban pihak penggadai maupun pegadaian.

Belakangan, bersamaan dengan munculnya bisnis perbankan syariah, muncul pula istilah gadai syariah, yang dalam hal ini ditawarkan dan dikelola oleh perbankan syariah. Ini, tentu saja, merupakan suatu hal yang sangat baru, karena selama ini bank tidak bertindak sebagai pegadaian. Kegiatan gadai-menggadai adalah transaksi muamalat dua pihak yang sifatnya personal, dan tidak pernah melalui pihak perantara, seperti bank. Bank adalah institusi yang berurusan dengan utang-piutang berbunga, dengan mensyaratkan suatu agunan, tapi sifatnya berbeda dengan jaminan sebagaimana yang ditransaksikan dalam gadai.

Dari asal-muasalnya saja kita sudah bisa mempertanyakan, apakah gadai yang ditawarkan oleh perbankan syariah dan diklaim sebagai "gadai syariah" itu benar-benar sesuai dengan syariah Islam?

Pegadaian atau Perbankan?

Secara umum bisnis bank adalah menganakpinakkan uang. Caranya ialah dengan membungakan uang. Prakteknya adalah dengan sewa-menyewakan uang. Bank, melalui suatu produk yang disebut dengan tabungan atau deposito, menawarkan jasa menyewa uang kepada nasabah dengan harga sewa tertentu, yang disebut sebagai bunga, lazimnya bulanan atau tahunan. Saat ini di Indonesia tarif sewa uang oleh perbankan ini adalah sekitar 6%/tahun.

Dari uang yang disewa dari orang lain dengan harga sewa 6%/tahun ini, pihak pemlik bank menyewakan lagi uang tersebut kepada nasabah, yang disebut debitur, dalam bentuk produk yang disebut kredit, untuk berbagai keperluan: pembelian rumah (KPR), pembelian motor (kredit kendaraan), membayar sekolah (kredit pendidikan), atau aneka keperluan lainnya. Tarif sewa yang dibebankan bank kepada debitur, tentu saja, lebih tinggi dari tarif sewa uang oleh pihak bank kepada deposan, saat ini sekitar 15-20%/tahun. Nah, dari selisih uang sewa 9-14% itulah, pihak bank menengguk keuntungan. Jadi uang (deposan) beranak uang (dari debitur).

Tetapi, meski sudah memperoleh laba besar, pihak bank tidak semudah itu menyewakan uangnya kepada debitur. Ada banyak syarat tambahan. Dua yang paling umum adalah agunan dan ekuitas. Jadi, untuk bisa menyewa uang kepada bank, calon debitur haruslah memiliki harta dulu, baik yang akan dipakai sebagai agunan maupun sebagai penyertaan modal (ekuitas). Di samping itu, biaya sewa uang ini (yang disebut bunga itu) lazimnya bersifat majemuk, yakni bunga-berbunga, tarif sewanya memiliki harga sewa tersendiri. Maka semakin panjang waktu sewanya semakin tinggi tarifnya. Sewa untuk 10 tahun lebih mahal dari sewa untuk 5 tahun atau 3 tahun, begitu seterusnya. Kalau terjadi keterlambatan dalam membayar uang sewa ini, tarif sewa itu semakin besar pula dengan berjalannya waktu.

Sedangkan gadai, sebagaimana telah diuraikan secara ringkas di atas, seharusnya tidak melibatkan transaksi seperti utang piutang, apalagi utang piutang berbunga. Benda gadainya itulah jaminan atas utang si debitur, dan tidak ada hubungan transaksional lain. Karena itu, gadai-menggadai, tidak pernah dilakukan dengan cara hitung-menghitung secara komersial, apalagi demi mendapatkan keuntungan. Dengan kata lain gadai, pada mulanya, bukanlah bisnis, melainkan sebentuk jasa sosial dengan tujuan menolong seseorang yang tengah mengalamai kesulitan finansial.

Gadai Syariah Emas dan Dinar Emas

Sekarang kita lihat bagaimana "gadai syariah' itu dipraktekkan, dalam hal ini yang belakangan sangat dipromosikan, yaitu gadai emas. Bila seseorang memerlukan uang maka ia akan menggadaikan emas yang dimiliknya kepada bank syariah. Maka, pihak bank syariah telah menyiapkan sebuah skema gadai, dengan sejumlah ketentuan:

  1. Emas milik nasabah akan dinilai dengan harga yang berlaku saat itu, tapi tidak dinisbahkan semuanya, melainkan hanya sekitar 95%.

  2. Dari harga taksiran yang 95% ini pihak bank akan mengabulkan gadainya dengan nilai utang (gadai) sebanyak sekitar 90%

  3. Kepada nasabah akan dikenai "biaya penitipan" yang meski ditetapkan secara fixed, sebenarnya ditentukan malalui perhitungan persentase terhadap nilai piutang yang diberikan pihak bank, yakni sekitar 1-1.1%/bulan, atau 12-13%/tahun.

Alhasil, seara de facto, "gadai syariah" ala perbankan syariah ini sama sekali berbeda dengan gadai dalam arti sebenarnya, melainkan merupakan utang-piutang berbunga, dengan fixed rate. Jadi, emas yang digadaikan, hanyalah sebagai "prasyarat" saja, atau bisa kita katakan, diperlakukan sebagai agunan, sebagaimana agunan yang dipersyaratkan dalam utang-piutang berbunga lainnya. Emas itu bukan merupakan jaminan atas utang-gadai pihak si penggadai kepada pegadaian. Kalau dihitung agunan emas ini hanya dinilai 70% saja dari nilai yang sebenarnya. Sedangkan bunga yang dikenakan atas uang pinjaman ini sekitar 12-13%/tahun.

Sebab kalau emas itu diperlakukan sebagai benda gadai, maka pihak pegadaian tidak dibenarkan mengambil keuntungan dari benda gadai itu. Dalam hal ini keuntungan yang diambil pihak bank, tidak lain adalah bunga dengan fixed rate, tetapi dimanipulasi dan disembunyikan sebagai "biaya titipan". Dalam syariat Islam, untuk urusan gadai, tanggung jawab atas penyimpanan benda gadai ini merupakan kewajiban pihak pegadaian bukan si penggadai.

Persoalan lebih jauh lagi adalah bila emas yang digadaikan itu berbentuk dinar emas. Lha, seseorang menggadaikan harta bendanya kan karena membutuhkan uang? Dinar emas adalah uang itu sendiri. Bagaimana mungkin uang digadaikan untuk mendapatkan uang? Apa lagi nilai uang yang digadaikan itu hanya diberi nilai 70% dari nilai sesungguhnya? Sebagaimana kita ketahui bersama, pertukaran "emas dengan emas", hanya bisa dilakukan dengan dua syarat mutlak: kontan dan jumlahnya sama banyaknya. Jadi, gadai dinar emas, adalah sebuah absurditas.

Bank adalah bank. Produk apa pun yang mereka tawarkan kepada masyarakat tidak akan beranjak dari bisnis dasarnya, yaitu sewa-menyewa uang, atau utang-piutang berbunga. Dengan atau tanpa label syariah di belakangnya.