Terhentak al-wakil ketika membaca artikel di sini , ternyata profesi yang mulia ini sudah mulai banyak ditinggalkan, alasan permodalan dan hasil yang tak sesuai menjadi penyebabnya. Sehingga banyak dari mereka terjebak riba dan memimta anak keturunan untuk alih profesi menjadi buruh atau karyawan dimana akan mendapat gaji sebagai penunjang hidup, walau faktanya gajinya nanti tak kan dapat menyambung hidup.
Negeri kita negeri berkah, sumber daya manusia banyak, tanah subur, ternak sehat, dan cuaca yang mendukung sistem pertanian. Minyak, aspal, emas, kayu melimpah.
Ini semua adalah modal positif untuk kemakmuran dan kesejahteraan. Tetapi mengapa masih ada berita masyarakat tewas kelaparan, kurang gizi dan memakan makanan yang seharusnya menjadi jatah ternak.
Bila kita tanyakan itu semua banyak jawaban bermunculan, tetapi jawaban utamanya adalah karena merebaknya RIBA yang tak terkendalikan. Uang rupiah yang kita pergunakan adalah salah satunya. Uang bagi masyarakat sudah seperti candu, walau ada pameo mengatakan uang bukan segalanya, tetapi segalanya perlu uang. Karena uang dipaksakan sebagai alat tukar barang dan jasa, maka seolah ekonomi tak bergerak bila tak ada uang dalam masyarakat tersebut. Era barter hanya bisa dilakukan komunitas kecil, walau dalam skala besar sebenarnya bisa saja dilakukan.
Fungsi kepemimpinan dimanapun juga seharusnya bertindak sebagai kelompok pengatur (regulator) hal-hal terkait dengan komunitas yang terlingkup dalam sistemnya, dan tanggung jawab terpenting dalam skala ekonomi adalah selaku penjamin dan penjagaan kebenaran takaran, ukuran, dan timbangan di pasar. Lalu penjamin dan penjaga alat tukar yang sah dan berlaku pada komunitasnya. Alat tukar tersebut harus tersedia (dalam hal ini uang FIAT) sesuai dengan jumlah produksi dan kemampuan daya beli komunitas tersebut terhadap barang dan jasa. Katakanlah kalau tiba-tiba uang tak ada, seorang peternak membayar biaya sekolah anaknya dengn 2 ekor ayam, karena toh bila ayam dijual akan jadi uang juga, jadi lebih baik langsung saja untuk bayar sekolah.
Karena itu lah munculnya fungsi yang kedua dari fungsi kepemimpinan (otoritas) tersebut. Karena uang tercipta disebabkan adanya produksi atau jasa dari masyarakat maka uang tersebut seharusnya milik warga tersebut sejak awal tercipta.
Kepemimpinan (mewakili komunitasnya) akan menghitung berapa uang yang diperlukan oleh komunitasnya, lalu mengedarkan dalam bentuk upah kepada para pegawai agar membelanjakan untuk sirkulasi sehingga uang berputar dikomunitasnya. Dan uang yang tioba dipasar diputar kembali dalam bentuk permodalan. Setiap tahun dihitung, apakah uang masih cukup relevan dengan kondisi terakhir dengan pertimbangan pertumbuhan produksi dan penduduk.
Jadi tanpa adanya hak penciptaan uang akan menyebabkan ekonomi stagnan, perdagangan yang tak dapat dijual dan jasa yang tak berkembang. Dalam rezim devisa, bukankah setiap negara sudah memiliki bank sentral? Bukankah hak penciptaan uang sudah dipegang oleh pemerintah.? Bank sentral (BI di sini) pada mulanya menciptakan uang. Tapi uang tersebut diberikan dalam bentuk hutang, karena dalam rezim devisa uang tercipta ketika hutang tercipta. Kembali ke kasus sang peternak tadi.
Bayangkan tanpa hutang, uang tak ada
Tanpa uang, tak ada perdagangan.
Dan ketika hutang itu lunas, kembali lagi masyarakat yang tanpa uang.
Karena uang tercipta kalau ada hutang.!
Diilustrasikan seorang pemilik lahan, pemilik toko benih , buruh tani dan pemilik kerbau sewaan. Mereka tak dapat melakukan apa-apa terhadap lahan tersebut karena tidak ada uang, pemilik lahan tak dapat membeli benih, mengupah buruh dan membajak sawah karena tak ada uang. Mereka membutuhkan uang, karena itulah hutang tercipta.
Ketika tingkat produksi dan jumlah uang beredar setara, maka pergerakan ekonomi berjalan lembut dan mulus. Ketika jumlah uang lebih banyak dari jumlah barang, maka itulah yang dinamakan inflasi, maka sebenarnya uang tersebut sudah tak berharga lagi.
Rezim saat ini sudah cukup bodoh dalam penciptaan uang yang berasal dari hutang dari masyarakat. Tetapi lebih bodoh lagi ketika menambah hutang dari mata uang negara lain. Surat hutang negara dalam mata uang rupiah, tagihannya disampaikan ke masayarakat dalam bentuk pajak. Tetapi surat hutang mata uang asing ibarat menyiram bensin ke tubuh dan tinggal menunggu pemantik api dinyalakan.
Apa negara lain begitu iklas meminjamkan uangnya kepada negara lain tanpa meminta untung (bunga)?. Itupun masih dipermainkan oleh jual beli mata uang tersebut.
Contoh saat ini, US$ 1 = Rp.9.000,-, kita meminjam US$ 1juta, untuk membangun bendungan, yang sebenarnya bisa dibiayai dengan uang sendiri (tentunya dengan mencetak). Dan rencana pembayaran dari hasil pengairan bendungan tersebut dalam bentuk beras akan kita jual. Bila 1 kg beras = 1 US$, maka hanya dibutuhkan 1juta kg beras untuk pembayaran. Lalu tiba2 mata uang rupiah melemah jatuh ke harga US$1 = Rp16.000,-, dan harga beras jatuh ke 1kg = 0.5 US$, maka beras yang harus kita jual adalah 2 juta kg. DItambah bunga berarti lebih dari 2 juta kg beras harus diproduksi, dijual dalam rupiah dan dibelikan dolar.
Jadi ketika ada pertanyaan , kita punya freeport, punya dumai, punya sawah membentang, tetapi tetap miskin.
Hutang adalah hutang.
Semua harus dibayar.
Dolar dengan dolar, yen dengan yen, dan bukan dengan rupiah,
Reformasi tidaklah membawa kemajuan bagi bangsa ini, penggantian rezim hanya mengganti kepala sementara badan meneruskan sistem lama.