Penggunaan Dinar dan Dirham, serta Fulus, sebagai alat tukar yang didasarkan kepada transaksi sukarela akan semakin mudah ketika seluruh rantai tata niaga juga menerima pemakaiannya. Para anggota JAWARA (Jaringan Wirausahawan dan Pengguna Dinar Dirham Nusantara), maupun pemakai yang bukan anggota JAWARA, saat ini kebanyakan adalah para pengecer. Maka, salah satu persoalan yang mereka hadapi adalah "kemandekan" untuk kulakan. Karena itu, Paguyuban JAWARA belakangan ini terus aktif mengajak para pedagang grosiran dan produsen agar menerima Dinar dan Dirham.
Kemudahan para pedagang pengecer ini terbukti ketika Ibu Kurniawati, pemilik toko Tsamarah, kembali kulakan kerudung dan jilbab ke Grosir Arofah. Keduanya adalah anggota JAWARA di Tanah Baru, Depok. Keduanya sudah terbiasa bertransaksi dengan Dinar maupun Dirham dan telah merasakan manfaat dan keuntungannya, karena selalu ada jeda waktu antara berjualan eceran dan waktu untuk kulakaan. Dan, perbedaan waktu ini, selalu mengakibatkan depresiasi rupiah. "Alhamdulilah dengan bertransaksi pakai Dirham, kami justru merasakan harga barang yang cenderung turun," ujar Bu Wati.
Maka, hari itu, ia berkulakan sejumlah jilbab dan kerudung dengan beberapa corak. Nilai transaksinya adalah 10 Dirham perak, dengan nilai tukar Rp 36.500/Dirham. Padahal, beberapa pekan sebelumnya, nilai tukar Dirham masih di bawah Rp 35.000/Dirham. Apalagi dalam rentang waktu yang cukup panjang, penurunan harga barang akan sangat terasa.
Sebagai contoh, pada tahun 2002, nilai tukar 1 Dirham adalah Rp 11.000. Harga air kemasan dalam gelas ketika itu juga Rp 11.000/karton, isi 40 gelas. Hari ini nilai tukar 1 Dirham adalah sekitar Rp 37.000, harga air kemasan dalam gelas, sekitar Rp 18.000/karton. Artinya untuk 1 Dirham dapat dibelikan air kemasan sebanyak 2 karton. Jadi harga barang yang dalam rupiah naik 60% dalam rupiah, justru turun 50% dalam Dirham perak, dalam kurun 10 tahun ini.
Mau tunggu apa lagi? Mari gunakan Dirham dan Dinar dalam transaksi sehari-hari.