Senin malam tanggal 22 november 2010, mungkin merupakan mimpi buruk bagi sebagian besar warga Jakarta dan sekitarnya. Rata-rata lebih dari 5 jam mereka semua terjebak kemacetan dijalan raya yang diakibatkan banjir dan padamnya lampu lalu lintas serta tidak terkoordinasinya pengaturan persimpangan.

Bermacam wacana dan seminar sering sekali membahas untuk mengurai masalah pelik yang selalu menghimpit Jakarta, macet dan banjir. Dari rencana mengadopsi MRT, Lalu pembebasan lahan untuk BKT dan pelaksanaan proyek transjakarta yang masih belum memuaskan dalam implementasinya. Wacana terakhir yang masih mendapat penolakan masyarakat adalah sistem ERP (Electronic Road Pricing), dimana untuk memasuki kawasan tersebut harus membayar, juga rencana menaikan tarif parkir berdasar zona dan larangan kendaraan roda dua memasuki kawasan tertentu serta membuat zona jam masuk kerja berdasarkan wilayah. Sepertinya dari seminar, workshop dan beragam acara membedah permasalahan dijakarta tidaklah akan menghasilkan jawaban konkrit, dikarenakan arah yang salah untuk membenahi isu-isu tersebut. Awal mula itu semua adalah RIBA, dalam bentuk kredit kendaraan bermotor dan PAJAK kendaraan bermotor, serta sistem memilih pemimpin yang mengadopsi sistem kapitalis demokratis. Bagaimana jakarta tidak akan menjadi macet, bila pertumbuhan kendaraan bermotor roda dua dan empat berkisar 1.172 unit/ hari sumber.

