Senin malam tanggal 22 november 2010, mungkin merupakan mimpi buruk bagi sebagian besar warga Jakarta dan sekitarnya. Rata-rata lebih dari 5 jam mereka semua terjebak kemacetan dijalan raya yang diakibatkan banjir dan padamnya lampu lalu lintas serta tidak terkoordinasinya pengaturan persimpangan.
Bermacam wacana dan seminar sering sekali membahas untuk mengurai masalah pelik yang selalu menghimpit Jakarta, macet dan banjir. Dari rencana mengadopsi MRT, Lalu pembebasan lahan untuk BKT dan pelaksanaan proyek transjakarta yang masih belum memuaskan dalam implementasinya. Wacana terakhir yang masih mendapat penolakan masyarakat adalah sistem ERP (Electronic Road Pricing), dimana untuk memasuki kawasan tersebut harus membayar, juga rencana menaikan tarif parkir berdasar zona dan larangan kendaraan roda dua memasuki kawasan tertentu serta membuat zona jam masuk kerja berdasarkan wilayah. Sepertinya dari seminar, workshop dan beragam acara membedah permasalahan dijakarta tidaklah akan menghasilkan jawaban konkrit, dikarenakan arah yang salah untuk membenahi isu-isu tersebut. Awal mula itu semua adalah RIBA, dalam bentuk kredit kendaraan bermotor dan PAJAK kendaraan bermotor, serta sistem memilih pemimpin yang mengadopsi sistem kapitalis demokratis. Bagaimana jakarta tidak akan menjadi macet, bila pertumbuhan kendaraan bermotor roda dua dan empat berkisar 1.172 unit/ hari sumber.Sementara pertumbuhan jalan raya hanya 0.01% / tahun. Padahal kontribusi pajak kendaraan bermotor terhadap APBD DKI lebih dari 50%. Tapi cobalah tengok alokasi anggaran APBD lebih dari 50% pula untuk belanja kepegawaian dalam hal ini gaji para birokrat dan pegawai pemda. Dengan sistem memilih pemimpin gubernur seperti yang telah kita jalanani, saya pesimis jakarta akan terbenahi seperti impian banyak orang. Sadarilah dengan sistem demokrasi dan sistem pilkada akan membutuhkan banyak biaya bagi para calon, sehingga sampai tahun ke 4 atau ke 5 selesai masa jabatannya, sang pemimpin akan lebih sibuk mengisi kembali pundi-pundinya dari pada mengemban amanah yang telah dibebankan dipundaknya. Dalam Islam, jalan, jembatan, pasar rumah sakit dan rumah singgah adalah wakaf dari para pemimpin. Sementara dalam demokrasi, itu semua adalah hutang para pemilih yang harus dibayar dalam bentuk pajak dan inflasi. Jadi kita sudah capek-capek berbondong datang memilih si "AD" atau si "Kumis". Ternyata kita juga masih mensubsidi mereka ketika menjadi pemimpin kita.Jadi para warga Jakarta, jangan berharap bahwa jakarta akan lebih baik, selama kita masih percaya dengan RIBA dan Demokrasi.