Kebebasan bertransaksi, termasuk memilih alat tukar, dijamin langsung oleh Allah SWT dan Rasulullah salallahualaihi wasalam.
Dalam surat An Nisa ayat 29 Allah Subhanahuwata'ala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antaramu.�'' Maka "antaraadhin minkum", "suka sama suka di antaramu", merupakan rukun pertama sahnya sebuah transaksi. Ini berarti tidak seorang pun boleh memaksakan kehendak dalam bertransaksi. Termasuk di dalam larangan ini, tentu saja, adalah pemaksaan alat tukar tertentu. Imam Malik menyatakan bahwa alat tukar menurut syariat Islam adalah: "Semua jenis benda niaga yang umum diterima sebagai alat tukar." Jadi, satu-satunya kualifikasi untuk suatu barang agar dapat atau tidak dapat digunakan sebagai alat tukar adalah "diterima secara umum". Dalam banyak hadis Rasulullah Salallahualaihi wasalam, secara lebih rinci, menegaskan dijaminnya kebebasan bertransaksi ini. Rasul SAW mengindikasikan enam benda niaga sebagai alat tukar, yaitu emas, perak, tepung (gandum dan barle), korma, dan garam. Tapi, kalau di Jawa para pemilik sawah lazim membayar upah para pemanen padinya dengan gabah, dan transaksi ini diterima oleh ke dua belah pihak, maka gabah adalah alat tukar.
Tiga Rukun Transaksi Yang harus kita pahami adalah persoalan alat tukar ini terkait langsung dengan halal haramnya suatu bentuk transaksi tertentu, jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa, atau tukar-menukar. Dalam hadis sahih Muslim, dari Abu Said al Khudri r.a, Rasul SAW bersabda: "Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran dan timbangannya, dari tangan ke tangan (kontan), kelebihannya adalah riba; perak dengan perak harus sama takaran dan timbangannya, dan dari tangan ke tangan (kontan), kelebihannya adalah riba; tepung dengan tepung harus sama takarannya dan timbangannya, dan dari tangan ke tangan (kontan), kelebihannya adalah riba; korma dengan korma harus sama takaran dan timbangannya, dan dari tangan ke tangan (kontan), kelebihannya adalah riba; garam dengan garam harus sama takaran dan timbangannya, dan dari tangan ke tangan (kontan), kelebihannya adalah riba."
Selain mengindikasikan jenis benda niaga yang dapat digunakan sebagai alat tukar, yang dicirikan oleh beberapa sifat alamiahnya yakni daya simpannya yang panjang dan dapat distandarisasi dan dipecah dalam satuan berat dan volume yang fixed, Rasul SAW juga menyebutkan rukun lain dalam transaksi dan penetapan alat tukar tersebut. Rukun kedua dalam transaksi (jual beli), sesudah "suka sama suka", adalah "dari tangan ke tangan" atau kontan. Suatu transaksi yang tidak kontan belum sah sebagai jual beli, melainkan menjadi transaksi utang piutang, yang tidak lagi boleh mengandung unsur "tambahan". Tambahan ini, "kelebihan" atau "keuntungan", dalam utang piutang merupakan riba. Demikian halnya, penundaan pembayaran pada jual beli yang ditambahkan keuntungan, mengakibatkan timbulnya riba.
Rukun ketiga yang harus dipenuhi dalam transaksi (yang melibatkan barang niaga, dan bukan yang melibatkan layanan jasa) adalah kesetaraan nilai barang yang ditransaksikan, mithlan-bi-mithlin. Dari hadis di atas kita memahami makna "emas dengan emas, perak dengan perak, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam", sebagai pertukaran karena bendanya sejenis. Syaratnya adalah, selain kontan, harus "sama takaran dan timbangannya". Kalau bendanya tak sejenis, boleh tidak setara, asal "suka sama suka" dan "kontan".
Imam Malik, dalam Al Muwatta, menyatakan "Yang disepakatai di antara kita mengenai apa pun yang dapat ditimbang selain emas dan perak, misalnya tembaga, kuningan, timah, timah hitam, besi, tumbuhan, buah ara, kapas, dan barang-barang lain semacam ini yang ditimbang, adalah tidak ada larangan untuk membarter semua jenis barang-barang ini dua banding satu, secara tunai. Tidak ada larangan untuk mengambil satu ritl [ukuran berat sekitar satu pon] besi untuk dua ritl besi, dan satu ritl kuningan untuk dua ritl kuningan." Kata "yang disepakati di antara kita" yang digunakan oleh Imam Malik menunjukkan bahwa ini merupakan ijma' atau konsensus ulama di Madinah. Rasul SAW sendiri menyatakan bahwa pertukaran "emas dengan perak" boleh tidak setara, asal suka sama suka dan dilakukan secara kontan.
Tidak Semua Benda adalah Uang Beberapa kaidah hukum i atas sekaligus menunjukkan pada kita bahwa (1) benda-benda yang disebutkan dalam hadis di atas adalah alat tukar (uang), (2) bahwa alat tukar yang boleh digunakan dalam transaksi (bukan cuma perdagangan barang niaga tapi juga termasuk layanan jasa) harus memiliki nilai intrinsik, hingga rukun "sama takaran dan timbangannya" dapat dipenuhi. Jelaslah kepada kita bahwa uang atau alat tukar menurut syariat Islam harus berbentuk 'ayn (komoditas), tidak dapat berbentuk secarik kertas bukti utang (dayn)..
Tetapi, tidak semua benda niaga dapat dijadikan alat tukar, atau uang. Secara umum telah disinggung di atas, benda niaga yang dapat dijadikan uang adalah yang "lazim diterima sebagai alat tukar," dan memiliki ciri fitrah sebagai alat tukar, yaitu "daya simpannya yang lama dan takaran atau timbangannya yang dapat distandarisasi hingga dapat memiliki unit hitung". Beberapa riwayat di bawah akan memperjelas hal ini.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani, Rasul SAW mengatakan, "Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar, satu dirham dengan dua dirham; satu sa'dengan dua sa' karena aku khawatir akan terjadinya riba (al Rama'). Seseorang bertanya: 'Wahai Rasul, bagaimana jika seseorang menjual seekor onta dengan beberapa ekor kuda atau seekor onta dengan beberapa ekor onta? Jawab Nabi SAW, 'Tidak mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (kontan). Selain hadis ini, ada riwayat lain dari Imam Malik, yang meriwayatkan dari Yahya dari Malik dari Naf'i, "Bahwa Abdullah ibn Umar membeli (menukar) seekor onta-tunggangan betina dengan empat ekor onta dan dia memastikan akan mengirimkan keempat-empatnya kepada pembeli di ar-Rabadha."
Perhatikanlah isi dari hadis dan 'amal penduduk Madinah di atas, menukar Dinar dengan Dinar atau Dirham dengan Dirham, harus sama banyak dan kontan. Tetapi, menukarkan onta atau kuda dibolehkan dengan jumlah berbeda. Mengapa? Karena Dinar dan Dirham (begitu juga beberapa komoditi yang disebut bersamanya seperti tepung, kurma, dan garam) adalah uang, sedangkan onta atau kuda tidak pernah dipakai sebagai uang atau alat tukar.
Ada lagi satu hadis yang dapat kita ajukan sebagai bukti, dari sahih Bukhari Muslim, yang meriwayatkan dari Abu Said al Khudri, yang mengatakan bahwa: "Bilal membawa sejumlah kurma Barni kepada Rasulullah SAW, dan ketika beliau bertanya dari mana ia mendapatkannya, ia [Bilal] menjawab, 'Saya memiliki sejumlah kurma inferior, maka saya menjualnya 2 sa' untuk 1 sa' kurma (yang bagus ini). Beliau berkata, 'Ah! Inilah esensi Riba, inilah esensi Riba. Jangan lakukan itu, kalau kamu mau membelinya, jual kurmamu itu dalam transaksi terpisah, kemudian belilah yang kamu dapatkan ini'".
Uang Kertas adalah Batil
Perhatikan bahwa Rasulullah SAW memperlakukan kurma sama dengan Dinar atau Dirham, melarang pertukarannya, kecuali dalam jumlah yang sama dan kontan. Mengapa? Karena kurma, seperti halnya Dinar dan Dirham, juga tepung (gandum dan barle), dan garam, lazim dipakai sebagai alat tukar atau uang. Kalau di antara beraneka benda niaga yang terbukti paling cocok, praktis, dan terbanyak dipraktekkan sebagai uang adalah emas (Dinar) dan perak (Dirham), itu adalah pilihan semata. Bukan satu-satunya pilihan sebagai alat tukar, apalagi pemilihan itu dipaksakan oleh suatu pihak tertentu.
Sebaliknya, uang kertas yang merupakan kertas tak bernilai dan penerbitannya dimonopoli oleh satu pihak, dan pemakaiannya untuk umum dipaksakan, adalah alat tukar yang batil dan bertentangan dengan syariat Islam. Kebebasan bertransaksi dijamin langsung oleh Allah SWT dan dijaga melalui sunnah Rasul SAW, dan diatur melalui syariat Islam. Maka, bila saat ini ada upaya melalui (Rancangan) Undang-Undang Mata Uang untuk memaksakan setiap orang (Indonesia) untuk bertransaksi hanya dengan uang kertas rupiah, dan melarang bahkan menghukum transaksi yang dilakukan dengan alat tukar lain atas dasar suka sama suka, itu berarti memberangus kebebasan bertransaksi.
Pasal 19 ayat 1 RUU Mata Uang yang tengah digodog di DPR menyebutkan:
"Uang Rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran dan/atau kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Penggunaan alat tukar lain, selain uang kertas rupiah, menurut RUU ini merupakan tindak pidana, yang dirumuskan dalam Pasal 32 ayat 1 dan 2, sbb:
- Setiap orang yang tidak menggunakan Uang Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang dan/atau transaksi keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun, dan denda paling sedikit Rp. 5.000,000,- (lima juta rupiah dan paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
- Setiap orang yang menolak untuk menerima Uang Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang dan/atau transaksi keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana dengan pidanan kurungan paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun, dan denda paling sedikit Rp. 5.000,000,- (lima juta rupiah dan paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Ini semua berarti melawan ketetapan dari, dan menyatakan perang terhadap, Allah SWT dan Rasulnya SAW. Inilah peringatan bagi mereka yang saat ini berupaya memaksakan kehendaknya melalui UU Mata Uang tersebut. Dalam surat Al Baqarah ayat 279 Allah SWT berfirman, "Maka jika kamu tidak meninggalkan riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya".
Bertentangan dengan UU lain dan Konstitusi
Tanpa adanya undang-undang mata uang, rakyat Indonesia telah menjalani kehidupan ekonomi dengan normal, selama ratusan tahun, bahkan sejak kita mengenal uang kertas rupiah 65 tahun lalu. Tanpa undang-udang mata uang perbankan kita juga telah berjalan, diatur oleh Undang-undang (UU) No 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan UU no 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Meski tidak secara tegas menggunakan istilah perbankan syariah, UU No 7/1992 tersebut membolehkan bank untuk "melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil".
Setelah UU ini direvisi dengan UU tentang perbankan yang baru, yakni UU No 10/1998, secara eksplisit ditetapkan bahwa bank boleh beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Bahkan, kemudian, UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia juga menetapkan bahwa Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat "melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah".
Pemakaian kembali Dinar dan Dirham, serta Fulus, bukan cuma berdasarkan prinsip syariah, tetapi merupakan pengamalan dari syariah Islam itu sendiri. Maka, tidakkah RUU Mata Uang itu bertentangan dengan UU No 10/1998 tentang Perbankan dan UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, itu sendiri? Lagi pula, secara asasi, kebebasan menjalankan ibadat sesuai syariat Islam, menguasai hak milik, berpartisipasi memajukan masyarakat dan bangsa, menggunakan identitas budaya dan tradisi, semuanya dijamin oleh konstitusi Republik Indonesia, yaitu UUD 1945 (yang telah diamandemen).
Pasal 28C Ayat (2) UUD 45 menyatakan: "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya". Pasal 28H Ayat (4) menyatakan: "Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun." Pasal 28I Ayat (3) menyatakan "Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan pradaban." Sedangkan Pasal 29 Ayat (2), menyatakan: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Koin Dinar dan Dirham adalah milik pribadi, merupakan bagian dari tradisi dan budaya bangsa Nusantara, merupakan bagian dari ibadah umat Islan (pembayaran zakat, mahar, mumalat, dsb). Jadi, pemakian Dinar dan Dirham merupakan bagian dari rumusan hak asasi yang dilindungi oleh beberapa pasal UUD 45 di atas. Kemunculan undang-undang mata uang yang melarang pemilikan dan penggunaan Dinar dan Dirham, karena itu bertentangan dengan UUD 45, bertentangan dengan undang-undang perbankan dan undang-udang tentang Bank Indonesia, serta bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Rasul SAW.
Menghambat peredaran dan pemakaian kembali Dinar emas dan Dinar perak juga hanya akan merugikan masyarakat dan bangsa secara keseluruhan. Dinar emas dan Dirham perak adalah aset nyata. Semakin banyak koin emas dan perak yang berada di tangan masyarakat semakin kokoh ekonomi rakyat dan bangsa Indonesia. Sebagaimana terbukti dalam masa satu dasawarsa ini Dinar emas dan Dirham perak bebas inflasi, menstabilkan ekonomi keluarga, menurunkan harga-harga, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat, paling tidak pada tingkat individu pemakainya.