Meski pada saat-saat terakhir berhalangan hadir, karena secara mendadak ada tamu penting dari Jakarta, Sultan Sepuh XIV menyiapkan makalah, yang disampaikan oleh Bpk Rafan Hasyim, yang ditunjuk mewakilinya.
Bukti tertulis yang disampaikan dalam seminar di atas dikutip dari Naskah Martasinga, (2005:140) yang mengisahkan keputusan Sunan Gunung Jati untuk membayarkan diyat, sebagai pengganti hukuman mati atas putranya Pangeran Jayakelana, yang dianggap lalai atas tugas yang diberikannya. Semula, hukuman yang dijatuhkan atasnya adalah hukuman mati, tetapi atas permintaan para ulama dan wali, hukumannya diganti dengan diyat: Dinar emas sebanyak berat badan Pangeran Jayakelana.
"Marah wetokna iki, Dinar ingkang kira iku, ing timbangane si kalana, wusing timbang nuli pada duman maring sakabeh ika, fakir miskin aja ana, ingkang kaliwat sawiji, nuli si iku kalana, buangen maring gon kang sepi, ya anang segara lering". Demikian isi teks Martasinga, yang artinya:
"Coba keluarkan uang Dinar dan timbanglah seberat badan Jayakelana, bilamana sudah kau timbang, kemudian bagikan uang itu semuanya, jangan ada fakir miskin yang tertinggal satupun, dan si Kalana buanglah ke tempat yang jauh, di laut utara." Dari bukti tertulis ini kita ketahui, bahwa masyarakat Cirebon telah menggunakan Dinar emas, baik untuk keperluan mumalat sehari-hari, maupun untuk penetapan hukuman (hudud) dan diyat. Kemakmuran Cirebon juga tergambar dari jumlah Dinar yang dibagikan kepada fakir miskin, yaitu seberat badan orang dewasa, katakanlah sekitar 70 kg, maka setidaknya sekitar 16.500 dinar hari itu dibagikan kepada fakir miskin.
Karena itu, 15 dan 16 Maret 2011, menjadi sejarah penting bagi masyarakat Cirebon, karena untuk pertama kalinya, Dinar dan Dirham kembali digunakan dalam transaksi sehari-hari, melalui Festival Hari Pasaran (FHP) I, Cirebon, di halaman Masjid Kampus IAIN, Syekh Nurjati, Jl Perjuangan, Cirebon. Dalam FHP I ini hadir hampir 20 pedagang yang berjualan sejak pagi hari sampai menjelang asar.