Kanjeng Sultan Sepuh XIV, PRA Arif Natadinegrat, SE, mengungkapkan bukti-bukti tertulis Dinar emas dan Drham perak adalah mata uang masyarakat Cirebon.
Teks-teks tentang sejarah kesultanan di wilayah Cirebon tentunya sudah acap ditelaah oleh para ahli. Namun demikian, boleh jadi, baru kali inilah diungkapkan sebagai salah satu bukti tertulis bahwa Dinar emas dan Dirham perak merupakan mata uang masyarakat Cirebon sejak awal berdirinya Kesultanan Islam di Jawa Barat ini. Dan yang mengungkapkan hal ini adalah Sultan Sepuh XIV sendiri, dari Kesultanan Kasepuhan, Cirebon, dalam Seminar "Pengenalan Dinar Dirham Sebagai Alat Tukar yang Mudah dan Handal terhadap Hiperinflasi", di Kampus IAIN Syekh Nurjati, Cirebon, Gedung Cirebon Center, 15 Maret lalu.
Meski pada saat-saat terakhir berhalangan hadir, karena secara mendadak ada tamu penting dari Jakarta, Sultan Sepuh XIV menyiapkan makalah, yang disampaikan oleh Bpk Rafan Hasyim, yang ditunjuk mewakilinya.
Bukti tertulis yang disampaikan dalam seminar di atas dikutip dari Naskah Martasinga, (2005:140) yang mengisahkan keputusan Sunan Gunung Jati untuk membayarkan diyat, sebagai pengganti hukuman mati atas putranya Pangeran Jayakelana, yang dianggap lalai atas tugas yang diberikannya. Semula, hukuman yang dijatuhkan atasnya adalah hukuman mati, tetapi atas permintaan para ulama dan wali, hukumannya diganti dengan diyat: Dinar emas sebanyak berat badan Pangeran Jayakelana.
"Marah wetokna iki, Dinar ingkang kira iku, ing timbangane si kalana, wusing timbang nuli pada duman maring sakabeh ika, fakir miskin aja ana, ingkang kaliwat sawiji, nuli si iku kalana, buangen maring gon kang sepi, ya anang segara lering". Demikian isi teks Martasinga, yang artinya:
"Coba keluarkan uang Dinar dan timbanglah seberat badan Jayakelana, bilamana sudah kau timbang, kemudian bagikan uang itu semuanya, jangan ada fakir miskin yang tertinggal satupun, dan si Kalana buanglah ke tempat yang jauh, di laut utara." Dari bukti tertulis ini kita ketahui, bahwa masyarakat Cirebon telah menggunakan Dinar emas, baik untuk keperluan mumalat sehari-hari, maupun untuk penetapan hukuman (hudud) dan diyat. Kemakmuran Cirebon juga tergambar dari jumlah Dinar yang dibagikan kepada fakir miskin, yaitu seberat badan orang dewasa, katakanlah sekitar 70 kg, maka setidaknya sekitar 16.500 dinar hari itu dibagikan kepada fakir miskin.
Informasi penting lainnya, yang diungkapkan dalam seminar di atas, adalah keputusan pencetakan Dinar emas (dan Dirham perak) oleh Sultan Gunung Jati sebagai pernyataan menyatakan kedaulatan Kesultanan Islam Cirebon, dan lepas dari Pajajaran yang Hindu. Sunan Gunung Jati juga menerapkan penarikan zakat dengan tegas, dan mewariskan pesan sangat penting, kepada putra wayah (anak turun), yakni "Sun Titip Tajug lan Fakir Miskin". Ini bermakna "Aku titipkan Salat dan Zakat", yakni Masjid dan Dinar Dirham.
Karena itu, 15 dan 16 Maret 2011, menjadi sejarah penting bagi masyarakat Cirebon, karena untuk pertama kalinya, Dinar dan Dirham kembali digunakan dalam transaksi sehari-hari, melalui Festival Hari Pasaran (FHP) I, Cirebon, di halaman Masjid Kampus IAIN, Syekh Nurjati, Jl Perjuangan, Cirebon. Dalam FHP I ini hadir hampir 20 pedagang yang berjualan sejak pagi hari sampai menjelang asar.