Sufyan al Jawi - Numismatik Indonesia
(R)UU Mata Uang, yang saat ini sedang diparipurnakan di DPR, harus bertujuan memperkuat penggunaan uang rupiah di negeri ini.
Apalagi sejak era 1980-an, mata uang kertas asing telah mengambil alih peran rupiah di banyak tempat di negeri kita. Tak hanya di daerah perbatasan dengan negara-negara tetangga saja, ironisnya di berbagai kotapun mata uang kertas asing mendominasi beberapa item transaksi bisnis. Sebut saja dolar AS, yang menjajah perekonomian kita, baik itu secara langsung maupun secara terselubung.
Penjajahan dolar AS secara langsung dapat kita temukan dengan mudah, contohnya biro perjalanan Haji dan Umroh, yang pasang tarif dalam dolar AS. Begitu pula hotel dan restoran berbintang, penyewaan ruang perkantoran dan toko yang dengan bangga menggunakan dolar AS. Bahkan di Jakarta, dolar AS seakan-akan menjadi hitungan wajib untuk transaksi barang elektronik, khususnya komputer, seperti yang lazim terjadi di Glodok, Harco Mangga Dua dan pusat perniagaan elektronik lain. Untuk membeli mesin-mesin industri, para dealer mematoknya dalam dolar AS, meskipun kemudian pembayarannya dilakukan dalam rupiah. Rupiah digunakan sebagai media antara saja!
Penjajahan dolar AS secara terselubung dapat kita rasakan berupa serangan aksi spekulan valas dan saham. Umumnya serangan mereka berupa 'Hot Money' yaitu uang dolar AS yang masuk ke negara kita sebagai investasi jangka pendek. Bila mereka merasa sudah untung, mereka dapat menarik dana-dana tersebut secara tiba-tiba. Tentu saja hal ini akan mengguncang kestabilan ekonomi negara kita. Dan untuk mencegah gejolak ekonomi, Bank Indonesia harus menggelontorkan cadangan devisa untuk mempertahankan rupiah. Tapi anehnya, elit Pemerintah RI sering kali lebih menyukai dolar AS daripada rupiah. Ini terlihat dalam pembiayaan proyek-proyek vital negeri kita, sebut saja dalam mega proyek pembangkit tenaga listrik dolar AS menggusur peran rupiah!
Kembalikan Jati Diri Bangsa
UU no. 19 tahun 1946 menyebutkan bahwa mata uang Republik Indonesia adalah rupiah, yang berdasar pada 10 (sepuluh) rupiah senilai 5 (lima) gram emas murni. Dan sejak lahir 1946 itu pula, mata uang kertas asing saat itu �rupiah Dai Nippon- diberangus, dan digantikan perannya oleh rupiah RI yang lazim disebut sebagai ORI (Oeang Repoeblik Indonesia). Inilah tonggak sejarah, dan dasar hukum berlakunya uang rupiah sesuai konstitusi UUD 1945. Rupiah yang dijamin dengan emas.
UU Mata Uang tahun 2011 nanti, diharapkan dapat mengembalikan semangat dalam menegakkan UUD 1945 itu. Seperti kita ketahui di daerah perbatasan RI, penduduk setempat lebih dominan dan akrab menggunakan mata uang negara tetangga. Sebut saja: dolar Singapura di Kepulauan Riau (Batam), ringgit Malaysia di Entikong (Kal Bar) dan Nunukan Sebatik (Kal Tim), Peso Philipina di Kepulauan Talaud (Sulawesi Utara), Kina Papua Guinea di Propinsi Papua Indonesia. Nampaklah rupiah tidak berdaya di wilayahnya sendiri!
Maka UU Mata Uang Tahun 2011 sangat tepat bila digunakan untuk memberangus penggunaan mata uang kertas asing tersebut di wilayah NKRI. Tetapi, jangan UU ini menyingkirkan kemungkinan penggunaan alat tukar lain, misalnya yang saat ini sudah mulai populer, yaitu dinar emas dan dirham perak. Penggunaan dinar emas dan dirham perak justru merupakan jangkar penyelamat bagi ketahanan finansial rakyat Indonesia. Pemerintah RI juga diuntungkan bila dinar dirham dapat digunakan secara maksimal untuk mengamankan asset warganya dari gerusan inflasi, dan ini berarti meningkatkan kemakmuran dan kemajuan ekonomi bangsa.
UU Mata Uang yang terdiri atas 12 bab dan 45 pasal jangan jadi alat untuk memberangus asset warga bangsa, dan bukan untuk menghapus tradisi luhur bangsa kita. Apalagi digunakan untuk melegalkan penggunaan uang asing � khussnya dolar AS- di negeri ini. Adapun bunyi pasal 19 ayat 2 RUU "Dalam hal tertentu, Bank Indonesia dapat menetapkan penggunaan uang selain rupiah". Hendaknya pasal 'karet' ini tidak digunakan untuk menguntungkan posisi dolar AS. Karena kita ketahui, bahwa uang asing tersebut masih banyak Mudharatnya (bahaya) daripada manfaatnya. Dolar AS, secara faktual digunakan oleh spekulan valas sebagai 'lintah' yang menghisap kekayaan asset Negara-negara pengguna dolar AS.
Dinar Dirham Tradisi Bangsa Kita Jangan lupa, sejak abad ke 14, bangsa Indonesia -Nusantara- telah menggunakan dinar emas dan dirham perak. Nenek moyang kita telah mencetak sendiri, di Pasai di tahun 1300-an, Aceh 1500-an, Gowa Sulawesi Selatan 1595-an dan di Jawa 1600-an. Bahkan VOC pun harus mencetak dirham kompeni agar bisa berdagang dengan pribumi, bangsa Nusantara. UUD 1945 menyebutkan, pada pasal 28 C ayat 2: "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya". Penerapan pasal ini selaras dengan manfaat penggunaan dinar dirham dalam masyarakat. Secara individu, warga negara yang memiliki dinar dirham dapat menyelamatkan asetnya. Dan penggunaan secara luas, akan membangun kemajuan ekonomi masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya, pasal 28H ayat 4: "Setiap orang berhak mempunyai hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun". Dalam penerapannya dinar dirham merupakan hak milik pribadi. Dinar dirham yang dicetak di Indonesia sebaiknya dapat digunakan oleh bangsa sendiri, dan tidak diekspor. Karena kebutuhan dinar dirham hasil produksi perut bumi pertiwi sudah sewajarnya dinikmati oleh kita, untuk kemaslahatan umat Islam di Indonesia. Karena apabila diekspor, maka uang kertas dolar AS yang justru akan membanjiri negeri kita dan itu kurang bermanfaat.
Pasal 28 I ayat 3 menegaskan: "Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati denga perkembangan zaman dan peradaban". Juga pasal 29 ayat 2 memperkuatnya: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu". Penerapan kedua pasal ini, menjelaskan bahwa identitas budaya -termasuk dinar dirham- merupakan hak masyarakat tradisional, dan harus dihormati oleh semua orang dan negara melindunginya. Dinar dirham bukan legal tender, penggunaannya dibatasi oleh syari'at dalam muamalah yang Halal dan Thoyib saja! Dinar dirham tidak boleh dipaksakan pada siapapun, karena merupakan alat muamalah, untuk zakat, infaq, shodaqoh dan segala transaksi yang berkaitan dengannya.
Inflasi uang kertas adalah salah satu penyebab kemiskinan bangsa. Karena itu, kebijakan yang wajib diambil oleh pemimpin negeri ini adalah memperkuat rupiah, yaitu dengan dukungan emas perak. Hal seperti ini kini juga dilakukan oleh banyak negara: Cina, India, Rusia bahkan Arab Saudi. Seharusnya elit negeri ini berterima kasih, karena ada sebagian warganya yang sejak satu dasawarsa terakhir menghidupkan kembali tradisi luhur bangsa, dengan bermuamalah menggunakan dinar emas dan dirham perak. Istilah rupiah berasal dari penggunaan uang-uang perak, dimana koin senilai dua dirham disebut sebagai satu rupiah. Hingga hari ini, istilah 'perak' sering menggantikan kata rupiah, misalnya: Rp 5.000,- disebut 5.000 perak!
Kini dinar dan dirham digunakan kembali sebagai alat muamalah dan pelindung asset kita dari gerusan inflasi. Kita menggunakan dinar dirham sebagai pengamalan aqidah dan syari'at Islam, yang termasuk pula sebagai penerapan UUD 1945 didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena membawa kemakmuran dan kemajuan ekonomi bangsa. Lalu untuk kepentingan siapa UU Mata Uang dan Redenominasi diterbitkan?
Bila pemerintah bertindak cerdas, dengan menganjurkan kepada rakyatnya untuk kebebasan menggunakan dinar dirham. Dan nantinya dinar dirham dapat menopang uang rupiah, maka kita tidak lagi membutuhkan redenominasi! Rupiah mutlak dibutuhkan oleh muslim untuk transaksi yang tidak boleh menggunakan dinar dirham, seperti membayar pajak. Wa Allahu 'Alam.
link