Kebanyakan umat Islam masih menganggap hanya bunga yang
disebut riba. Padahal fiat money
jauh lebih besar riba (berlipat-lipat tambahannya) daripada bunga rentenir. Ada 2 jenis riba lagi yang
luput dari perhatian yaitu riba penetapan harga barang dan harga uang kertas
(fiat money).
Sebelum membahas riba penetapan harga barang dan harga uang fiat money, sebaiknya kita mengetahui bagaimana transaksi pertukaran barang dalam Islam.
Sebelum membahas riba penetapan harga barang dan harga uang fiat money, sebaiknya kita mengetahui bagaimana transaksi pertukaran barang dalam Islam.
Dalam Islam ada 2 jenis transaksi yaitu :
1.
Al-bai’ (jual beli)
Kalau barang yang ditukar berbeda disebutnya al-bai’
(jual beli). Maka harus dilakukan dengan antaradhin (saling
ridha) antara penjual dan pembeli. Tidak boleh ada pemaksaan yang menyebabkan
salah satu atau kedua belah pihak tidak ridha. Ketika harga ditetapkan dan
dipaksakan manusia, tidak menyerahkannya kepada Allah Swt (sunnatullah) maka ini adalah riba karena
bisa jadi harga barang harusnya lebih mahal atau lebih murah dari harga yang
ditetapkan atau dipaksakan.
Islam mensyaratkan setiap transaksi bisnis harus berdasarkan
kerelaan kedua belah pihak (penjual dan pembeli) yang terlibat. Jual beli tidak
sah dengan ketidakrelaan salah satu atau kedua belah pihak. Oleh karena itu
Islam memperbolehkan adanya tawar menawar dan khiyar (pembatalan transaksi)
dengan syarat-syarat tertentu.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Q.S.
An-Nisaa [4]: 29)
Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat ini, “Allah Swt melarang
hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian dari mereka atas sebagian
yang lain dengan cara yang batil yakni melalui usaha yang melanggar syariat.
Maksud ayat, “kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu” yakni janganlah kalian menjalankan usaha
yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan tetapi berniagalah menurut aturan
syariat yaitu perniagaan yang dilakukan suka sama suka (antaradhin) di antara pihak pembeli dan
penjual. Dan carilah keuntungan yang diakui oleh syariat. (Tafsir Ibnu Katsir)
Rasulullah Shallallaahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Innamal bai’u ‘antaradhin(Sesungguhnya
jual beli itu dengan kerelaan)”. (HR Ibnu Majah)
2.
Sharf (tukar menukar)
Kalau barang yang ditukar sama disebutnya sharf
(pertukaran). Maka harus dilakukan dengan matslan bi mitslin
yaitu sama dan sebanding baik dari kadar zat maupun beratnya, tidak boleh antaradhin. Tidak boleh ada pemaksaan
yang menyebabkan pertukaran menjadi tidak matslan bi mitslin sama dan serupa.
Dalam sharf
yang dilihat matslan bi mitslin
itu bukan gambar atau angka yang tertera di barang tapi dilihat dari kadar
zatnya apa dan beratnya berapa. Bagaimana bisa dengan kertas atau logam yang
sama dan serupa tapi mempunyai nilai yang berbeda-beda? Di sinilah letak
ribanya.
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “(Diperbolehkan menjual) emas dengan
emas yang sama timbangannya dan sama sebanding, dan perak dengan perak yang
sama timbangannya dan sama sebanding. Barangsiapa menambah atau meminta
tambahan maka itu riba.” (HR Muslim)
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah menjual emas dengan emas
kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain;
janganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama sebanding dan jangan
menambah sebagian atas yang lain, dan janganlah menjual perak yang tidak tampak
dengan yang tampak.” (Muttafaq Alaih)
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Satu dinar ditukar dengan satu dinar,
dan satu dirham ditukar dengan satu dirham, tidak ada lebih diantara keduanya”.
(HR Ahmad)
Dua Jenis riba yang biasa kita lakukan sehari-hari :
a.
Penetapan harga barang
Anas Ibnu Malik berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah
terjadi kenaikan harga barang-barang di Madinah. Maka orang-orang berkata,
“Wahai Rasulullah,harga barang-barang melonjak tingi, tentukanlah harga bagi
kami”. Lalu Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya Allahlah
penentu harga, Dialah yang menahan, melepas dan pemberi
rizki. Dan aku berharap menemui Allah dan berharap tiada seorangpun yang
menuntutku karena kasus penganiayaan terhadap darah maupun harta benda". (Hadits
Riwayat Imam Lima kecuali Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban)
Lihat sekarang, terjadi penetapan harga gabah, pupuk, TDL
(tarif dasar listrik), gas, minyak dan air. Semua harganya sudah ditentukan
oleh manusia bukan berdasarkansunnatullah.
Ada juga teori
lain dalam ekonomi ribawi bahwa harga itu ditentukan oleh pasar melalui supply (penawaran) dan demand (permintaan), padahal supply dan demandini bisa dipermainkan (dengan hawa nafsu) oleh
sekelompok orang (kartel/monopoli) untuk memainkan harga.
Kalaupun harga dinaikkan maka pembeli tidak ada pilihan lain
dan kecenderungannya memang harganya semakin dinaikkan dengan alasan inflasi
(buatan). Apakah pembeli ridha dengan membayar harga yang telah ditetapkan?
Apakah terjadi antaradhin
(saling ridha) antara penjual dan pembeli? Kalau tidak ada keridhaan dalam jual
beli tersebut, siapa yang menanggung dosanya?
Dalam Islam harga itu jelas ditentukan oleh Allah Swt
sebagaimana hadits di atas. Harga dilihat berdasarkan hasil
(panen/kebun/ternak/tambang dan lain-lain) dikurangi biaya operasional. Ketika
dengan izin Allah hasilnya lebih banyak (misal karena cuaca baik) maka harga
akan lebih murah dan ketika hasilnya lebih sedikit (misal karena cuaca buruk)
maka harganya akan lebih mahal karena biaya operasional relatif stabil
(berdasarkan dinar & dirham).
b.
Penetapan harga uang fiat money
Siapa yang menentukan nilai dari dollar amerika ke dolar
singapur, dari euro ke poundsterling, dari rp ke ringgit dan sebagainya? Kalau
dengan teori ekonomi ribawi jawabannya adalah karena supply dan demand.
Apakah supply
dan demand ini bisa dibuat
oleh segelintir orang (kartel/monopoli) sehingga bisa mengatur harga sesuai
keinginan mereka? Dan kartel inipun bukan hanya terjadi di pasar uang tapi
terjadi juga di pasar saham.
Dan yang paling aneh adalah bagaimana bisa saya punya nilai
10.000, terus dibawa ke amerika, nilainya berubah drastis turun jadi 1.
Sebaliknya kalau orang amerika bawa nilai 1, begitu masuk ke kita nilainya
berubah drastis naik menjadi 10.000. Bagaimana bisa dengan kertas yang sama dan
serupa tapi nilainya berbeda 10.000 kali lipat?
Ditambah lagi ribanya dengan adanya harga jual dan harga beli
tiap-tiap uang fiat money dari satu mata uang terhadap mata uang lainnya.
Ribanya sudah tumpang tindih. Inilah kezaliman yang diciptakan sistem dajjal.
Berbeda dengan dinar emas dan dirham perak, kalau kita punya
1 dinar, maka ketika dibawa ke amerika tetap 1 dinar. Begitupun sebaliknya, kalau
orang amerika punya 1 dinar kemudian dibawa kesini maka nilainya tetap 1 dinar,
tidak ada yang dizalimi (dirugikan). Inilah syariat yang adil.
Kewara’an Seorang Ulama Tabi’in Muhammad bin Sirin (Ibnu
Sirin) dalam Memastikan Keridhaan Berjual Beli
Dari Maimun bin Mihran, dia berkata, “Aku datang ke Kufah
untuk membeli sebuah pakaian, kemudian aku menemui Ibnu Sirin di Kufah, lalu
aku menawar barang dagangannya, dan setelah tercapai kesepakatan harga sebuah
pakaian, dia berkata, “Apakah anda ridha?, aku berkata, “Ya, aku ridha”.
Dia pun mengulang pertanyaan itu 3 kali, lalu dia mengundang
2 orang untuk memberikan kesaksian transaksi kami. Sejak saat itu setelah aku
melihat kewara’annya itu, setiap aku membutuhkan sesuatu dan terdapat di
tokonya maka aku pasti membelinya hingga kain-kainnya juga aku beli”. (Siyar
A’lam an-Nubala’ 4/620)
Apa Tujuan Syariat Islam Diciptakan?
Maqasid syariah (tujuan syariah)
yaitu menjaga jiwa, din, harta, akal dan kehormatan. Dalam kitab al-Muwafaqat fi ushul as-Syariah, Imam
Syatibi, ahli fiqih Malikiyah dari Andalusia abad ke-8 Hijriyah, membahas
konsep maqasid syariah secara
sistematis dan mendetail.
Beliau menjelaskan bahwa syariah diturunkan kepada manusia
semata-mata untuk kesejahteraan mereka. Ia berisi kaidah-kaidah umum tentang
kehidupan manusia, peraturan dan batas-batas yang semua manusia wajib
mentaatinya dan melaksanakannya agar kehidupan mereka teratur, tertib dan aman.
Orang yang menjalankan syariah Islam adalah orang yang paling
bebas dan paling tenang, karena seluruh ajarannya, baik yang kecil maupun yang
besar, mengandung maslahahbagi
manusia itu sendiri, walau dia tidak menyadarinya.
Sebaliknya, yang keluar dan tidak mentaati aturan–aturan di
dalamnya, akan terikat dan terbeleggu dengan nafsunya, yang walau kelihatannya
enak dan menyenangkan tetapi pada hakekatnya adalah kerugian dan madharat.
Aturan Islam itu Sempurna karena Berdasarkan Wahyu, Bukan
Berdasarkan Dugaan dan Hawa Nafsu
Allah Swt berfirman, “Telah
sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil.
Tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha
Mendenyar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al An'aam 6 : 115)
Para ulama berkata, “Shidqun fil akhbar wa adlun fil ahkam
(beritanya benar dan hukumnya adil)”. Qatadah rh berkata tentang maksud “Telah
sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil”
adalah “benar dalam ucapan-Nya dan adil dalam semua keputusan-Nya, selalu benar
dalam pemberitaan dan adil dalam tuntutan.
Setiap yang diberitakan oleh-Nya adalah benar, tiada keraguan
dan kebimbangan padanya. Semua yang diperintahkan oleh-Nya adalah hal yang
adil, tiada keadilan selain keadilan-Nya. Dan setiap apa yang dilarang-Nya
adalah batil, karena sesungguhnya tidak sekali-kali Dia melarang melainkan
karena adanya mafsadat
(kerusakan) pada yang dilarang-Nya itu.
Kesimpulan
Kalau ingin menghindari riba maka tidak boleh ada penetapan
atau pemaksaan harga pasti apalagi membuat kedua belah pihak (penjual dan
pembeli) menjadi saling tidak ridha sehingga transaksi menjadi tidak sah.
Dan berikutnya adalah kembali kepada dinar emas dan dirham
perak untuk menilai suatu barang dan menjadi alat barter (alat tukar) yang
adil, baik untuk sharf maupun jual beli sehingga tidak ada yang dizalimi.