Beberapa saat setelah gempa dan sebelum tsunami menerjang aceh tahun 2004, masyarakat melihat garis pantai lebih jauh dari kondisi seharusnya. Air laut terlihat surut dan menyebabkan beberapa masyarkat yang melihat phenomena tersbut malah berlarian ke tepi pantai tanpa menyadari nun jauh di tengah laut, ombak besar sedang terbentuk.
Begitu juga dalam phenomena pemakaian uang kertas dolar saat ini, setelah gempa keuangan dunia yang bersumber di amerika dikarenakan kredit macet perumahan ditahun 2008 ~ 2009, menyebabkan nilai tukar rupiah dan dolar tergoncang, dimana tampaknya rupiah disodok pada Rp.12.900,- di bulan november 2008. Kemudian setelah goncangan tersebut malah dolar yang seperti air laut surut, melemah terhadap rupiah dikisaran RP.8.932,- pada november 2010 ini. Hal ini pun diikuti peningkatan devisa indonesia yang melonjak dari US$M51.639.32,- pada desember 2008, dan melonjak 80% pada november 2010 ini menjadi US$M92.759.00,-.
Apakah justru karena dolar melemah, maka indonesia lebih mudah meningkatkan devisanya 8o% lebih banyak dibanding sewaktu rupiah yang sekarat. Seharusnya ketika rupiah lemah kita lebih mudah mengumpulkan dolar dikarenakan nilai ekspor kita bisa lebih murah. Tetapi justru ketika rupiah kuat malah devisa kita bertambah, apakah karena .
Pasar uang tidaklah berisi orang atau kelompok yang berjiwa sosial. Manusia-manusia yang ada dalam pasar ini adalah sekelompok binatang buas yang bahkan mungkin akan tega menjual ibunya sendiri demi satu kalimat yang namanya :
Apa yang segera anda lakukan, jika anda memiliki begitu banyak lembaran hijau dengan stempel dolar. Saya yakin anda segera membeli sebanyak mungkin aset real dunia yang dihargai dengan dolar. Walaupun dolar melemah terhadap mata uang dunia lainnya, toh mereka masih mempercayainya sehingga tetap dijadikan cadangan devisa. Anda akan tetap membayar mereka dengan dolar-dolar tersebut karena seperti penduduk di pesisir mereka masih melihat air laut masih surut.
Waktupun terus berjalan dan setelah masyarakat dunia kembali menggenggam dolar, baik melalui penjualan aset real, kredit modal ataupun pengalihan saham-saham perusahaan sehat. Dolar akan kembali bergejolak seperti air laut yang kembali ke pantai dengan kecepatan sama seperti sebuah pesawat jet dan dengan ukuran yang bukan sekedar riak ombak, tetapi sebuah tembok air setinggi pohon kelapa bahkan lebih.
Kredit dhentikan, harga saham dirontokan, hutang jatuh tempo ditagih paksa. Harga kebutuhan pokok serta komoditas dibuat melonjak. Semua manusia panik karena tiba-tiba mereka jadi tak memiliki aset karena telah tertukar dengan lembaran kertas hijau dolar.
Lalu apa yang terjadi dengan para pemimpin yang kita pilih melalui pemilu ini. Mereka berjanji menjamin semua hutang dan pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan devisa negara. Tetapi benarkah hal itu akan dilakukan. Siapa yang punya uang disaat semua kertas yang dinamakan uang termasuk dolar tak akan dihargai lagi. Siapakah yang menikmati untung. Para pemilik aset real lah yang akan masih bertahan ketika gelombang besar Tsunami ekonomi menghantam. Bukan industrial pemilik pabrik, walau mereka mempunyai aset, tetapi asetnya semu karena hutang. Para petani yang masih memiliki sawah, para peternak yang masih memiliki hewan ternak, para pedagang yang tidak terikat dengan kerdit bank, para nelayan yang tidak terkait teknologi. Merekalah yang akan masih bertahan. Sementara kelas pekerja, orang-orang kaya yang tinggal diapartment, para pemilik rekening adalah orang-orang yang tersapu Tsunami tersebut.
Indonesia, asia tenggara, sudah mengalami hal tersebut.
Amerika belumlah 2 tahun dan masih mengalami terjangan tersebut.
Saat ini eropa baru mulai mengalami Tsunami tersebut.
Apakah kita sudah menyadarinya saat ini.
Kepada siapa anda percayakan jaminan harta dan pendapatan anda saat ini. Para pemimpin yang minta anda memilih. Ataukah bankir dan konglomerat yang masih memberi anda hutang dan upah berupa kertas kertas bodong. Siapa yang akan anda percaya, bukankah anda sudah pernah mengalaminya.. Ataukah belum...?