Kami juga melayani penjualan dan pembelian Logam Mulia dengan berat minimal 25 gr

16 September 2010

Salah Kelola Zakat dan Sedekah

Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Idul Fitri 1431 H usai sudah. Tapi, ada yang tak boleh dilewatkan: berulangnya fenomena ribuan orang berebut recehan sedekah.

Tahun lalu di rumah H Saikhon (Pasuruan) 21 orang mati terinjak-injak demi Rp 30 ribu. Tahun ini di halaman Istana Negara, kediaman resmi Presiden SBY, peristiwa serupa terjadi, meski 'cuma' satu orang tewas. Padahal presiden tidak sedang bersedekah, hanya silaturahmi.

Sungguh masygul melihat ribuan laki-perempuan, termasuk orang tua dan anak-anak, yang sebagian besar pasti Muslim, tiap kali berdesakan berburu sedekah, bukan cuma di rumah seorang haji atau presiden, bahkan di halaman kelenteng, vihara, atau gereja. Mengapa itu terjadi, dalam skala yang makin tinggi?


Tiga Persoalan

Paling tidak ada tiga persoalan. Pertama, ini adalah ekspresi kepapaan dan penderitaan mayoritas Muslim, akibat kemiskinan yang bukan berkurang tapi makin mencekik. Kedua, di tengah kemiskinan mencekik ini, kekayaan terkumpul dan tertumpuk di kalangan sedikit orang. Ketiga, betapa tidak mudahnya melawan nafs, yang menyelinap dalam hati manusia khususnya yang berposisi atas, untuk tidak menonjol-nonjolkan "kebaikan".

Riya' adalah penyakit hati. Marilah kita jadikan bukan mereka yang miskin dan rela berdesak-desakan itu, tetapi juga segelintir orang kaya ini, yang boleh jadi terbersit dalam hatinya rasa senang, bangga, dan entah perasaan apa lagi, melihat ribuan Muslim miskin beradu nyawa demi sedekah, sebagai cermin. Tapi kita juga harus melihat masalah ini melampauai soal kepribadian seseorang saja.

Kita harus mencari solusi agar peristiwa seperti ini berhenti. Ada yang menyatakan agar sedekah disalurkan hanya kepada lembaga atau badan amil zakat "resmi" saja. Tapi sungguh ini bukan soal teknis belaka. Dan banyaknya harta zakat yang disalurkan belum tentu pertanda baik. Allah SWT menyatakan akan "menyuburkan sedekah dan memusnahkan riba" (Al Baqarah: 276). Namun, ini tidak bisa terjadi begitu saja, bagai mukjizat. Suburnya sedekah dan musnahnya riba, sepenuhnya tergantung pada sikap dan perbuatan kita sendiri.

Banyaknya zakat yang dibayarkan saat ini, diperkirakan jumlahnya yang tercatat saja bisa melampaui Rp 1 triliun, belum tentu tanda baik, belum tentu menjadi bukti suburnya sedekah. Sebab, boleh jadi, justru sebaliknya: banyaknya zakat saat ini hanya mencerminkan banyaknya harta yang ditimbun-timbun di tangan segelintir orang. Suburnya sedekah yang lebih riil ditandai oleh zakat yang berasal dari harta produktif, dari pertanian, perkebunan, peternakan, dan perdagangan. Bila zakat berasal dari harta produktif dibuktikan dengan produk pertanian (beras, jagung, polong-polongan, dsj) dan perkebunan (kismis, kelapa sawit, dsj), hewan ternak (kambing, sapi, dan kerbau, dsj), serta nuqud (dinar emas atau dirham perak), yang ditarik dan dibagikan kepada fakir-miskin dan mustahik lainnya.

Sementara, di sisi lain, berapa banyak zakat saat ini cuma berasal dari timbunan harta berupa deposito, dan sejenisnya, yang artinya bergelimang riba dan menumpuk pada sedikit orang? Allah SWT menegaskan ancaman pedih bagi penimbun harta: "Ingat ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka jahanam, dan dengan itu disetrika dahi dan punggung mereka, dikatakan 'inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, rasakan akibatnya'" (At Taubah 35).

Tak ada larangan bagi setiap orang jadi hartawan, tapi hartanya harus berputar, melalui proses produksi dan perdagangan, hingga "menyuburkan sedekah dan memusnahkan riba" dan "harta tidak berputar hanya di kalangan orang kaya". Sebaliknya, kekayaan yang ditimbun dalam rekening bank, meski dibayarkan zakatnya, berarti "memusnahkan sedekah dan menyuburkan riba" dan "menghentikan beredarnya harta". Zakat yang ditarik dan dikelola secara benar adalah obat mujarab bagi penyakit hati, cinta harta. Tata kelola zakat harus dikembalikan pada yang seharusnya, hingga fungsinya sebagai "paru-paru" harta dan obat hati, dapat berfungsi. Harta adalah untuk dicari, dikumpulkan, dan dibagikan, terus-mernerus, seperti paru-paru yang menghirup, menggelembungkan, dan mendistribusikan, oksigen kehidupan.

Luruskan Tata Kelola Zakat

Pertanda lain bahwa zakat berasal dari harta produktif adalah pengumpulan dan pemeratannya yang terjadi setiap hari, sepanjang tahun. Sebab, nisab dan haul zakat, niscaya akan jatuh secara berbeda pada setiap orang, mengikuti dinamika proses produksi, entah di pertanian, peternakan, dan - apalagi - di perdagangan (termasuk manufaktur). Penumpukan penghimpunan dan penyaluran zakat hanya di satu periode saja, sepanjang Ramadhan misalnya, adalah cermin penimbunan harta itu sendiri.

Sementara memberikan zakat kepada lembaga-lembaga amil zakat yang ada saat ini juga bukan penyelesaian. Bahwa masyarakat kurang mempercayai mereka, itu satu hal. Dalam kenyataannya berapa banyak porsi zakat yang dihimpun oleh LAZ dan BAZ yang langsung dibagikan kepada yang berhak secara tunai? Kebanyakan uang zakat saat ini justru ditahan, diakumulasikan, lalu dijadikan aneka program: entah pendidikan, entah kesehatan, entah permodalan, dan sebagainya. Mereka juga tak peduli dengan zakat harta lain, hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan.

Penerima zakat telah ditetapkan oleh Allah SWT, tidak untuk program, tidak untuk administrasi, tidak untuk institusi, termasuk masjid sekalipun. Harta zakat sepenuhnya untuk seseorang (yang berhak). Secara syar'i pengumpul zakat tidak berhak atas penentuan peruntukan harta zakat. Hak itu sepenuhnya ada pada para mustahik. Tugas amil hanya menariknya dari kaum berpunya, dan membagikannya kepada yang berhak, segera dan secara tunai, dalam bentuk Dinar emas dan Dirham perak, serta harta (pertanian, peternakan, perkebunan) lainnya.

Pertanda bahwa sedekah telah subur dan riba telah punah adalah banyaknya orang-orang yang membayarkan zakatnya dalam alat bayar yang benar tersebut di atas, setiap hari, sepanjang tahun, dan dengan cara yang benar, yakni ditarik oleh para pemimpin Muslim (amir) setempat. Tata kelola zakat yang benar ditandai dengan adanya Baitul Mal di berbagai tempat di bawah amir-amir kaum muslim tersebut, menyantuni fakir-miskin dan mustahik lain secara tunai, dan terus-menerus, karena zakat ditarik dan dibagikan dengan tiada hentinya.

Para amir itu, atau petugas yang ditunjuknya, yang akan mendatangi mustahik, dan menyerahkan harta zakat yang jadi hak mereka. Bukan membagi kupon, meminta mereka datang berduyun-berdesakan, saling berebut, entah uang receh entah sembako. Juga bukan dengan mengakumulasikannya, menyusun program, dan melaksanakannya, sementara si papa dan miskin, hanya menerima remah-remahnya.

Tulisan sudah dimuat di Republika