Kami juga melayani penjualan dan pembelian Logam Mulia dengan berat minimal 25 gr

9 Mei 2011

Fulus Kepeng Bali tetap Berlaku

Sufyan al Jawi - Numismatik Indonesia
Umat Hindu Bali kini masih menggunakan fulus kepeng sebagai mata uang sakral. Mereka menggunakannya sejak abad X bersama dengan dinar emas dan dirham perak.

Ternyata bukan hanya permintaan koin dinar dan dirham saja yang makin tinggi. Akhir-akhir ini, di Propinsi Bali, umat Hindu juga mulai kesulitan memperoleh pasokan stok koin kepeng tembaga - yang dalam kaidah kita sebagai muslim disebut koin fulus. Padahal Pemerintah Daerah Bali melalui SK Gubernur nomor 68 Tahun 2003, sejatinya sudah mendorong uang kepeng
agar tidak punah, dan tetap diproduksi. Ternyata persoalannya sama, permintaan umat melebihi kemampaun produksi, yang dalam hal ini dijalankan oleh UD Kemasan Bali (25 April 2011).
Dulu, uang kepeng merupakan alat tukar resmi, dan berlaku sampai tahun 1960-an. Namun ketika rezim Orde Baru-Soeharto - berkuasa, penggunaan kepeng hanya sebatas sebagai uang sakral di pura saja. Karena itu dibentuklah lembaga Bali Herritage Trust sebagai upaya pelestarian budaya Bali, termasuk uang kepengnya.
Permintaan uang kepeng, ternyata datangnya bukan hanya dari pura saja, tetapi juga dari para pengrajin patung berbahan uang kepeng. Dalam kaidah Islam, nuqud (dinar dan dirham), bersamaan dengan fulus digunakan sebagai alat muamalah. Dalam kaidah agama Hindu Bali pun, nuqud (dinar dan dirham), juga fulus kepeng digunakan sebagai yadnya, atau sarana ibadah keagamaan. Hanya saja, pemakaian uang emas (dinar) dan uang perak (dirham) di pura, saat ini sudah tidak nampak lagi. Mungkin koin mahal ini hanya digunakan oleh kasta terbatas saja-tidak seperti uang kepeng yang populer. Agar tradisi sakral mereka tidak hilang, maka prosesi yadnya hanya dapat menggunakan uang kepeng, bukan uang dari Bank Indonesia.
Dalam satu acara perhelatan di pura, sebut saja di Pura Kentel Gumi, di desa Mas, uang kepeng yang digunakan bisa mencapai 100.000 koin. Sedangkan di Bali terdapat ratusan pura, dan jutaan keeping uang kepeng pun tetap beredar di sana, dan berlaku hingga hari ini. Hingga munculah sebuah anekdot bocah Bali: Kalau mereka menemukan koin Rp 100 atau Rp 200 di jalanan, pasti mereka tendang dan tak mereka acuhkan. Tapi kalau mereka menemukan uang kepeng, pasti langsung dipungut dan dibawa pulang, karena di rumah mereka pun, kepeng masih berlaku dan bergunak.
Otoritas Pencetakan Uang
Dulu, uang kepeng dipasok dari CIna kuno sejak abad ke 10. Selain itu, kepeng juga dipasok dari kerajaan-kerajaan Islam, antara lain: Kesultanan Banten, Cirebon, Palembang dan Malaka. Uniknya kepeng dari kerajaan Islam bertuliskan aksara Arab Melayu, kecuali fulus Banten. Namun bagi umat Hindu Bali, apapun nama koin dan nama kerajaan penerbit kepeng (fulus), asalkan terbuat dari perunggu (tembaga campur kuningan) dan ada lobang kotak di tengah koin, maka itulah kepeng! Sehingga penjajah Belandapun ikut-ikutan mencetak uang sen bolong di awal abad ke 20, karena masyarakat Bali konon mencetak uang benggol tembaga 2 1/2 sen tanpa lobang.
Di bawah lembaga Bali Herritage Trust, uang-uang kepeng kini terus diproduksi oleh para pengrajin lokal, yang tentunya di bawah otoritas Pura di desa-desa mereka. Pembuatan kepeng dikerjakan secara turun temurun. Produsen uang kepeng yang populer saat ini adalah UD Kamasan Bali. Cara pencetakan koin kepeng ini menggunakan teknik klasik, yakni melalui pengecoran dan bukan melalui teknik press.
Manurut I Made Rawi, uang kepeng Koci (2 cm) berharga Rp 3,5 juta per 1000 keping (Rp 3.500,- per koin), harga uang kepeng tatar (2,5 cm) adalah Rp 1,6 juta - Rp 2 juta per 1000 kepeng, dan harga uang kepeng kemasan (modern) adalah Rp 700.000, Rp 800.000,- per 1000 kepeng (Rp 700-800 per koin). Kepeng dijual dengan cara per once/ikat.
Kalau umat Hindu Bali saja boleh mencetak dan mengedarkan uang kepeng, kenapa kita umat Islam ragu-ragu menggunakan dinar, dirham dan fulus? Keduanya menyangkut urusan ibadah keagamaan, yang dilindungi oleh negara kita.

sumber